Ekonomi Uni Eropa terancam oleh kebijakan perdagangan Trump
Ekonomi Eropa sedang mengalami pergolakan. Menurut seorang perwakilan dari Bank Sentral Eropa, tarif impor AS dapat menggagalkan pertumbuhan PDB UE secara serius.
Piero Cipollone, anggota dewan gubernur ECB, menyampaikan bahwa penerapan tarif mulai dari 10% hingga 20% pada barang impor ke AS akan dapat memicu "perlambatan pertumbuhan ekonomi di Uni Eropa." Tarif ini diusulkan oleh Presiden terpilih Donald Trump. Bagi eksportir utama Eropa, Amerika Serikat merupakan pasar utama. Penerapan tarif akan mengurangi permintaan eksternal bagi barang-barang UE dan meningkatkan persaingan di pasar domestik. "Kombinasi faktor-faktor eksternal untuk barang-barang UE dan meningkatkan persaingan di pasar domestik. "Kombinasi faktor-faktor ini akan memperlambat pertumbuhan ekonomi UE," kata Cipollone.
Namun, terdapat aspek-aspek positif yang mungkin terjadi dari kebijakan perdagangan dan ekonomi Trump untuk Eropa. Menurut Cipollone, janji Trump untuk meningkatkan produksi minyak dalam negeri dapat menyebabkan harga bahan bakar yang lebih rendah di pasar energi global. Dalam skenario ini, tarif impor bagi barang-barang Tiongkok juga dapat memungkinkan masuknya produk-produk ini ke UE. Faktor-faktor ini dapat membendung pertumbuhan inflasi konsumen di Eropa, Cipollone menyimpulkan.
Selama berkampanye, Trump berulang kali mengumumkan rencana untuk menerapkan tarif impor mulai dari 10% hingga 20% pada semua barang asing yang memasuki pasar AS. Untuk berbagai produk Tiongkok, presiden terpilih tersebut berjanji untuk mengenakan tarif yang lebih tinggi lagi, yaitu 60% dari nilai bea cukai.
Pendekatan ini telah dicap sebagai "proteksionisme ekonomi dari pemerintahan AS yang baru" oleh Dana Moneter Internasional." IMF memprediksi bahwa tindakan-tindakan seperti itu akan menyebabkan meningkatnya fragmentasi ekonomi global. Apabila skenario ini terjadi, sektor industri UE, yang sangat bergantung pada ekspor ke AS, akan menjadi salah satu sektor yang paling terpukul. Menurut analisis Barclays, kebijakan ini akan memberikan dampak negatif pada beberapa perusahaan, termasuk perusahaan barang mewah LVMH dan raksasa otomotif Jerman, Volkswagen.